Lalu memegang pahaku, “Yang mana..?”Yes..! Sopir menepikan kendaraan persis di depan sebuah salon.Aku perhatikan ia sejak bangkit hingga turun. Bokep Masak tidak ada yang bisa dibicarakan. Ya sekarang..!” pintanya penuh manja.Tetapi mendadak bunyi telepon di ruang depan berdering. Aku terpejam menahan air mani yang sudah di ujung. Lalu vaginanya, basah sekali. Aku tersetrum. Apa katanya nanti? Ayo. “Ini..,” kutunjuk pangkal pahaku.“Besok saja Sayang..!” ujarnya.Ia hanya mengelus tanpa tenaga. Tidak pasang wajah perangnya.“Kayak kemarinlah..,” ujarnya sambil mengangkat tabloid menutupi wajahnya.Begitu kebetulankah ini? Aku tidak tahan. Tapi belum begitu lama ia pindah ke betis.“Balik badannya..!” pintanya.Aku membalikkan badanku. Turun tidak, turun tidak, aku hitung kancing.Dari atas: Turun. Bodoh, bodoh, bodoh.Eh.., kesempatan, kesempatan, kesempatan. Aku duduk di belakang, tempat favorit. Lalu dikocok-kocok sebentar. Ketika menjangkau pantatku ia agak mendekat.Bau tubuhnya tercium. Baru saja aku memasang ikat pinggang, Hawin menghampiriku sambil berkata, “Telepon aku ya..!”Ia menyerahkan nomor telepon di atas kertas putih yang disobek sekenanya. Ketika menjangkau pantatku ia agak mendekat.Bau tubuhnya tercium. Toh masih ada hari esok.Aku bergegas naik angkot yang melintas. Aku memandang ke arah lain mengindari adu tatap. Tapi mengelap dengan handuk hangat sisa-sisa cream pijit yang masih menempel di tubuhku. Paling tidak ada untungnya juga ibu menyuruh bayar arisan.“Mbak Hawin..,”
